- Pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia)
- Latar Belakang
- DI/TII dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo, yang awalnya bagian dari perjuangan kemerdekaan, tetapi kemudian memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) di Jawa Barat pada 7 Agustus 1949.
- Penyebab utama adalah kekecewaan terhadap pemerintah yang dianggap gagal menjalankan syariat Islam secara nasional.
- Wilayah Pemberontakan
- Jawa Barat (Kartosuwiryo)
- Aceh (Daud Beureueh, 1953)
- Sulawesi Selatan (Kahar Muzakkar, 1950)
- Kalimantan Selatan (Ibnu Hadjar, 1950-an)
- Penanganan
- Operasi militer dilancarkan oleh pemerintah, tetapi pemberontakan DI/TII baru dapat dipadamkan sepenuhnya pada masa Orde Baru (1962-1965).
- Pemberontakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil)
- Latar Belakang
- Dipimpin oleh Raymond Westerling, mantan kapten KNIL, pada Januari 1950.
- Bertujuan untuk mempertahankan bentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) dan mengupayakan otonomi khusus bagi negara Pasundan.
- Aksi dan Dampak
- Melakukan pemberontakan bersenjata di Bandung dan menyerang anggota TNI serta pegawai pemerintah.
- Upaya ini gagal, dan APRA dibubarkan setelah pemerintah RIS menangkap para anggotanya.
- Pemberontakan Andi Azis di Sulawesi Selatan
- Latar Belakang
- Andi Azis adalah mantan perwira KNIL yang merasa keberadaan TNI di Sulawesi Selatan akan mengancam stabilitas daerahnya.
- Pada April 1950, ia memimpin pemberontakan untuk menolak integrasi Sulawesi Selatan ke dalam NKRI.
- Penanganan
- Pemerintah mengirimkan pasukan militer untuk menumpas pemberontakan.
- Andi Azis menyerah dan diadili oleh pemerintah Indonesia.
- Pemberontakan RMS (Republik Maluku Selatan)
- Latar Belakang
- Dipimpin oleh Christian Robert Steven Soumokil, mantan jaksa agung Negara Indonesia Timur (NIT).
- Memproklamasikan Republik Maluku Selatan (RMS) pada 25 April 1950 di Ambon sebagai bentuk penolakan terhadap integrasi ke NKRI.
- Aksi dan Penanganan
- RMS berhasil menguasai sebagian wilayah Maluku, terutama di Ambon.
- Pemerintah mengirim pasukan militer untuk menumpas pemberontakan. Pada November 1950, Ambon berhasil direbut kembali, meski sisa-sisa gerakan RMS bertahan di luar negeri hingga saat ini.
- Konflik PRRI/Permesta (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia / Perjuangan Rakyat Semesta)
- Latar Belakang Terjadi pada akhir 1950-an akibat ketidakpuasan daerah terhadap kebijakan pemerintah pusat yang dianggap tidak adil dalam distribusi anggaran dan jabatan.
- Pemimpin PRRI: Letkol Ahmad Husein (Sumatera Barat).
- Pemimpin Permesta: Kolonel Ventje Sumual (Sulawesi Utara).
- Aksi dan Dampak
- PRRI memproklamasikan pemerintahan tandingan di Bukittinggi (Sumatera Barat) pada 15 Februari 1958.
- Permesta mendukung gerakan PRRI di Sulawesi Utara.
- Kedua pemberontakan ini mendapat dukungan senjata dari pihak asing, terutama Amerika Serikat, yang khawatir terhadap pengaruh komunis di Indonesia.
- Penanganan
- Pemerintah melancarkan Operasi Militer, termasuk Operasi Tegas dan Operasi 17 Agustus, untuk menumpas pemberontakan.
- Pada 1961, gerakan ini berhasil dipadamkan sepenuhnya.
- Ancaman Ideologis: Komunisme dan PKI
- Perkembangan PKI
- Partai Komunis Indonesia (PKI) mulai bangkit setelah dihancurkan pada 1926.
- Menjadi salah satu partai besar dalam Pemilu 1955.
- Ancaman Keamanan
- Munculnya aksi-aksi yang dianggap radikal dan agitasi politik dari simpatisan komunis menimbulkan ketegangan dengan kelompok nasionalis dan Islam.
- Meskipun tidak melakukan pemberontakan bersenjata besar pada periode ini, PKI menjadi ancaman laten bagi stabilitas politik.
- Konflik Sosial dan Kriminalitas
- Ketidakstabilan politik memicu konflik sosial di berbagai daerah.
- Tingginya pengangguran dan lemahnya kontrol keamanan menyebabkan peningkatan tindakan kriminal, seperti perampokan dan pencurian.
Gangguan keamanan selama masa Demokrasi Parlementer mencerminkan kerapuhan politik dan sosial di Indonesia pasca-kemerdekaan. Pemberontakan separatis seperti DI/TII, APRA, RMS, dan PRRI/Permesta menunjukkan tantangan besar dalam menyatukan wilayah Indonesia. Konflik ideologi dan ketegangan antara pusat dan daerah semakin memperburuk keadaan, membuat pemerintah sering kali lebih sibuk menangani gangguan keamanan daripada mengelola pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.